Kegiatan Table Top Exercise (TTX) Simulasi Gempabumi dan Tsunami Kawasan Infrastruktur Kritis BIM, pada Selasa (22/8). |
Padang - Kepala Pelakaana BPBD Sumbar, Rudy Rinaldy menyebut, jika gempa megathrust Mentawai 8,9 magnitudo benar-benar terjadi, Bandara Internasional Minangkabau (BIM) dan Pelabuhan Teluk Bayur besar kemungkinan bakal lumpuh. Padahal, keduanya ini pintu masuk atau keluar dari daerah Sumbar.
"Makanya penting membuat batasan landasan tsunami atau
blue land, agar masyarakat lebih siaga, dan bisa mengurangi korban," kata
Rudy pada kegiatan Table Top Exercise (TTX) Simulasi Gempabumi dan Tsunami
Kawasan Infrastruktur Kritis BIM, pada Selasa (22/8).
Selain memberikan informasi yang lebih cepat, akurat, dan
terkini, dia berharap Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) juga
bisa memakai alat yang lebih mutakhir. Kemudian harus disinergikan dan
disosialisasikan agar bisa digunakan instansi terkait, termasuk bagi BPBD
se-Sumbar.
"Karena informasi awal terkait gempa dan tsunami tentu
dari BMKG. Jadi kami dari BPBD tetap berpijak pada teknologi mutakhir yang BMKG
gunakan, cuma jika terjadi kami tidak fokus ke BIM saja, tapi seluruh wilayah
Sumbar," ucapnya.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan BMKG, Daryono menyebut, potensi
besarnya megathrust Mentawai bisa mencapai 8,9 magnitudo. Ancaman ini sangat
penting diwaspadai dan perlu sinergisitas untuk zero victim atau meminimalisir
korban.
Salah satunya, berupaya untuk bersinergi melakukan
kegiatan-kegiatan mitigasi kebencanaan. Terlebih lagi di kawasan BIM Kabupaten
Padang Pariaman, sebagai gerbang pintu masuk yang sangat penting di wilayah
Sumbar.
"Karena Sumbar memang indah, namun di sisi lain juga
sangat rawan bencana," kata Daryono sebelum membuka kegiatan TTX Simulasi
Gempabumi dan Tsunami Kawasan Infrastruktur Kritis BIM yang digelar BMKG
tersebut.
Menurutnya, mitigasi bencana sangat penting untuk menuju
zero victim. Apalagi, gempa bumi yang diprediksi bakal terjadi sekitar 8,9
magnitudo sangat berdampak pada adanya ancaman tsunami dengan ketinggian air
mencapai 10 meter.
Dia juga menjelaskan, sebelum megathrust Mentawai ini
terjadi, Sumbar juga pernah dilanda gempa besar dan tsunami. Tercatat di
antaranya, gempa 8,7 magnitudo pada 10 Februari 1797 dengan tsunami 9 meter, dan
lebih 300 orang meninggal.
Kemudian, gempa 9,0 magnitudo pada 24 November 1833 dengan
ketinggian tsunami 6 meter. Lalu bencana gempa 8,6 magnitudo disertai tsunami
di Air Bangis pada 16 Februari 1861 dengan 700 orang meninggal dan puluhan
rumah rusak.
"Terakhir gempa 7,8 magnitudo 2010 di Mentawai diiringi
tsunami yang menyebabkan sebanyak 400 orang hilang," ungkap Daryono via
zoom di hadapan peserta TTX.
Kendati begitu, dari banyaknya rentetan gempa yang terjadi
selama ini, aktivitas gempa masih relatif jarang terjadi di wilayah Seberut
Mentawai. "Hampir di wilayah Sumatera segmennya sudah lepas, hanya di
Mentawai ini belum, jadi potensinya kemungkinan besar bakal terjadi,"
jelasnya.
Sementara Executive General Manager Angkasa Pura II BIM,
Siswanto membeberkan, saat ini mencapai 7000 penumpang setiap hari di BIM
Padang Pariaman. Jumlah ini disebut terus meningkat pascacovid-19 empat tahun
silam.
"Jadi kami sangat mengapresiasi jika BIM dijadikan
simulasi gempa dan tsunami secara live. Tentu juga sebagai tambahan pengalaman
antisipasi sejak dini bagi kami nantinya," sebutnya.
Baginya, jika gempa besar yang disertai tsunami benar-benar
terjadi, lantai tiga BIM bisa dijadikan shelter atau tempat evakuasi sementara
bagi warga yang ada di BIM. "Tentu termasuk bagi penumpang yang ada di
BIM," tukasnya.
Turut hadir dalam TTX ini, Koordinator Mitigasi Gempa dan
Tsunami BMKG, Suci Dewi Anugrah, Kepala Balai BMKG Wilayah I, Hendro Nugroho,
Kepala Stasiun Geofisika Padang Panjang, Suadi Ahadi, Kepala Stasiun
Meteorologi Minangkabau, Desindra Dedy Kurniawan.
Selanjutnya, Kepala Basarnas Padang, Abdul Malik, Kepala
Cabang LPPNPI Padang, Adriawan Anugrah, Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD
Sumbar, Rumainur, Kalaksa BPBD Padang Pariaman, Budi Mulya serta stake holder
lainnya. (w)